Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman atau sensasi ketidaknyamanan yang dirasakan oleh tubuh.
Nyeri adalah fenomena fisiologi yang seringkah mengganggu aktivitas dari individu yang mengalaminya dan menghambat proses penyembuhan.
Rasa nyeri merupakan rasa yang tidak menyenangkan yang melibatkan emosi serta keadaan afektif seseorang dan persepsinya.
Nyeri dapat diterima oleh seseorang sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu penyembuhan.
Kemungkinan setiap orang memiliki respon nyeri yang berbeda satu sama lain tergantung pada persepsi dan ketahanan terhadap nyeri (Hasyim, 2007).
Nyeri kepala merupakan masalah umum yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, meskipun sebenarnya terutama dari jenis menahun jarang sekali disebabkan oleh gangguan organik.
Penelitian yang dilakukan di Surabaya (1984) menunjukkan bahwa di antara 6488 pasien baru, 1227 (18,9%) datang karena keluhan nyeri kepala; 180 di antaranya didiagnosis sebagai migren.
Sedangkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta(1986) didapatkan 273 (17,4%) pasien baru dengan nyeri kepala di antara 1298 pasien baru yang berkunjung selama Januari sampai dengan Mei 1986.
Di Amerika Serikat, dalam satu tahun lebih dari 70% penduduknya (pernah) mengalami nyeri kepala, lebih dari 5% mencari mengusahakan pengobatan, tetapi hanya kurang lebih 1% yang datang ke dokter atau rumah sakit khusus untuk keluhan nyeri kepalanya (Manaf, 2011).
Saat ini penggunaan pengobatan alternatif semakin populer. Dari data didapatkan di Amerika, pasien yang menggunakan pengobatan alternatif lebih banyak dibandingkan dengan yang datang ke dokter umum.
Sedangkan di Eropa penggunaannya bervariasi dari 23% di Denmark dan 49% di Perancis. Di Taiwan 90% pasien mendapat terapi konvensional dikombinasikan dengan pengobatan tradisional Cina dan di Australia sekitar 48,5% masyarakatnya menggunakan terapi alternative (Victor, 2010).
Bekam atau hijamah (terapi oksidan) merupakan cara pengobatan tradisional yang memiliki prinsip kerja mengeluarkan darah (blood letting) di area tertentu di punggung sehingga dapat menyembuhkan penyakit.
Pada pelaksanaan terapi bekam yang dilakukan secara teratur terbukti dapat memberikan efek sebagai antioksidan yaitu menurunkan radikal bebas (Umar, 2008).
Bekam merupakan suatu metoda pengobatan klasik yang telah digunakan dalam perawatan dan pengobatan berbagai masalah kesehatan seperti hipertensi, penyakit reumatik, sakit punggung, migren, gelisah atau anxietas dan masalah fisik umum maupun mental (Fatahillah, 2007; Umar, 2008).
Sudah banyak yang menulis bahwa bekam dapat digunakan untuk mengurangi nyeri, tetapi belum ada penelitian sejauh mana bekam dapat digunakan untuk terapi nyeri kepala.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui efektifitas terapi bekam terhadap Cephalgia atau nyeri kepala.
Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengidentifikasi efektifitas terapi bekam (terapi oksidan) terhadap penurunan nyeri pada pasien dengan cephalgia di Rumah Bekam Al Kahiil Tegal Besar Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur.
Tujuan khusus yaitu mengidentifikasi nyeri pasien dengan cephalgia sebelum diberikan terapi bekam, mengidentifikasi nyeri pasien dengan cephalgia sesudah diberikan terapi bekam, dan menganalisa efektifitas terapi bekam terhadap penurunan nyeri pada pasien dengan cephalgia.
Metode Penelitian
Desain penelitian ini adalah pre experiment dengan rancangan pretest-postest design. Karena sesuai dengan tujuan dilaksanakan penelitian yaitu untuk menganalisis efektifitas terapi bekam terhadap penurunan nyeri pada pasien dengan cephalgia di Rumah Bekam Al Kahiil Tegal Besar Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur.
Pada penelitian ini populasinya adalah keseluruhan pasien cephalgia yang melakukan terapi bekam di Rumah Bekam Al Kahiil Tegal Besar Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur.
Pada penelitian ini sampel diambil dari pasien yang datang dengan keluhan cephalgia di Rumah Bekam Al Kahiil Tegal Besar yang termasuk dalam kriteria inklusi.
Kriteria inklusinya adalah semua pasien yang datang dengan keluhan cephalgia, sehat psikis, jenis kelamin laki-laki, dan bersedia menjadi responden.
Jumlah besarnya sampel yang akan diambil oleh peneliti adalah 32 responden dengan teknik pengambilan sampel menggunakan quota sampling. Analisa data pada penelitian ini menggunakan uji t-dependen (paired t-test).
Prosedur teknis pasien yang akan diteliti bersedia menjadi responden. Selanjutnya peneliti akan mengukur nyeri kepala pasien dengan menggunakan skala nyeri dan dicatat dalam sebuah check list.
Setelah diukur dengan skala nyeri sebelum perlakuan, maka peneliti akan membekam pasien atau memberi perlakuan untuk mengetahui adanya pengaruh. Waktu berbekam dibutuhkan selama 30 menit setiap responden.
Setelah selesai diberi perlakuan, responden akan diperiksa 15 menit kemudian. Uji homogenitas dengan uji Kolmogorov Smirnov dengan nilai terendah p 0,00 dan nilai tertinggi 0.200.
Dari 3 faktor yang diteliti oleh peneliti yaitu usia, riwayat pendidikan, dan pekerjaan didapatkan bahwa faktor usia homogen dan sisanya tidak homogen.
Uji statistik t-dependen (paired t-test) diperoleh bahwa rata-rata skala nyeri di awal dan akhir perlakuan bekam adalah 4.12500 dengan standar deviasi 1.03954. Hasil uji statistik didapatkan p value 0,00 < 0,05 (a).
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Rumah Bekam Al Kahiil Tegal Besar Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut;
Tabel 1 mendeskripsikan jenis nyeri kepala tension headache paling sering di jumpai dari 32 responden yang ada yaitu sebesar 68.8%. Sedangkan jenis nyeri kepala cluster headache paling jarang ditemukan dengan persentase sebesar 6.2%.
Berikut ini adalah hasil pengujian klinis berdasarkan laporan-laporan penelitian.
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 32 responden, didapatkan nilai rata-rata dari usia responden 49.4062, pendidikan 2.41 dan pekerjaan 4.09 dengan uji kolmogorov smirnov.
Hasilnya didapatkan nilai p untuk usia 0.200 yang berarti usia responden homogen, tetapi nilai p pendidikan 0.00 dan pekerjaan 0.00 yang berarti tidak homogen.
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 32 responden didapatkan nilai rata-rata 5.8750 dengan nilai minimal 4.00 dan maksimal 8.00.
Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 32 responden, didapatkan nilai rata-rata 1.7500 dengan nilai minimal 0.00 dan maksimal 4.00.
Demikian halnya dengan hasil tabel 5. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata skala nyeri di awal dan akhir perlakuan bekam adalah 4.12500 dengan standar deviasi 1.03954.
Hasil uji statistik didapatkan p value 0,00 <0,05 (a), artinya rerata skala nyeri sebelum terapi bekam berbeda dengan setelah terapi bekam.
Jadi nilai skala nyeri sebelum terapi bekam lebih tinggi dibandingkan setelah terapi bekam.
Nilai paired correlation adalah senilai 67.9%, artinya efektifitas terapi bekam pada pasien nyeri kepala adalah 67.9% sedangkan 32.1% sisanya dipengaruh oleh faktor yang lain.
Nyeri pada pasien dengan cephalgia pada saat pertama kali pengukuran menggunakan skala nyeri terlihat tinggi 4-8.
Setelah mendapat perlakuan terapi bekam, skala nyeri pasien dengan cephalgia turun ke angka 0-4 yang berarti ada penurunan rentang nyeri.
Setelah peneliti melakukan penelitian dan hasilnya dianalisis menggunakan uji statistik uji T dependent diperoleh nilai p 0,00 lebih kecil dari nilai p 0,05. Nilai paired correlation adalah senilai 67.9%.
Artinya efektifitas terapi bekam pada pasien nyeri kepala adalah sebesar 67.9% dan 32.1% sisanya dipengaruhi faktor lain.
Maka didapatkan kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara skala nyeri sebelum dan sesudah perlakuan terapi bekam pada pasien dengan cephalgia.
Pada data hasil penelitian ini didapat rata-rata skala nyeri sebelum bekam 5.8750 dan setelah bekam menjadi 1.7500. Bila melihat pada kriteria skala nyeri yaitu 0-10 maka jelaslah skala nyeri menunjukkan perubahan yang bermakna.
Peneliti berasumsi bahwa, pasien dengan cephalgia yang mendapat perlakuan mengalami penurunan angka nyeri pada skala nyeri sebelumnya yang diukur sebelum diterapi bekam.
Hal ini terjadi karena dasar mekanisme yang baik tentang bekam yang menyetimulasi saraf di mana pada titik bekam yang merupakan titik meridian adalah daerah-daerah yang banyak mengandung mitokondria, pembuluh darah, dan mengandung banyak mioglobin.
Jaringan di sekitar titik bekam juga memiliki sel mast yang banyak dan juga serabut saraf pleksus. Semua ini adalah faktor yang membuat titik bekam lebih sensitif terhadap rangsangan.
Bekam di sini memiliki efek terhadap neurotransmitter yang nantinya akan menyetimulasi pelepasan endorfin yang mengurangi kepekaan terhadap nyeri.
Penelitian lain juga mengevaluasi efek bekam terhadap sakit kepala dilakukan di Qatar. Dalam penelitian ini, hasilnya menunjukkan bahwa ada penurunan dalam skala nyeri dari 7 (pada tahap awal) sampai 3 (di tahap akhir bekam).
Berdasarkan pada penelitiannya, dijelaskan bahwa bekam dapat mengerahkan efek terapeutik melalui pengaruh dari tiga sistem yang sistem syaraf, sistem kekebalan tubuh, dan sistem hematologis (Isniza, 2011).
Tubuh kita mempunyai zat anti nyeri alami yaitu neuropeptida endorgenic morphin atau biasa disebut endorphin, dan enkephalin.
Enkefalin diproduksi dalam adrenal yang letaknya di ujung atas dari ginjal sedangkan endorphin dibuat di dalam kelenjar pituitary (pituitary glands) yang letaknya di dasar otak.
Keduanya adalah sejenis morfin alami. Selain bekerja di otak dan saraf, keduanya beredar bersama aliran darah. Zat morfin alami ini selalu ada dalam tubuh dengan kadar tertentu.
Kadar normal dalam tubuh yang sehat berada di antara kadar minimal dan maksimal. Kadar endorphin yang terlalu rendah akan menimbulkan rasa sakit di bagian tubuh, sedangkan jika terlalu banyak, tidak ada rasa sakit dengan akibat organ yang rusak tidak terdeteksi sehingga semakin rusak (Guyton, 1994).
Hal ini juga telah mejelaskan bahwa terapi bekam mungkin memiliki efek pada regulasi neurotransmitter dan hormon, salah satunya adalah endorphin.
Seperti kita ketahui, endorphin adalah salah satu opiat endogen dalam tubuh kita yang berasal dari morfin, seperti keluarga neuropeptida.
Mereka menghambat transmisi nyeri di otak, sumsum tulang belakang dan mengikat satu atau lebih G-protein-coupled opioid receptors (Isniza, 2011). Endorphin menutupi rasa sakit yang tidak diperlukan.
Contohnya jika kita menekankan lengan di meja, seharusnya terasa sakit karena otot lengan beradu dengan meja yang keras. Namun terasa tidak sakit, karena endorphin (dalam kadar normal) yang meniadakan rasa sakit tersebut.
Kedua zat antinyeri tersebut terutama endorphin, dapat dimanipulasi dengan olahraga. Olahraga dapat mengeblok rasa sakit karena telah dibuktikan bahwa olahraga dapat meningkatkan produksi endorphin, memperbaiki sirkulasi, melemaskan otot-otot dan memudahkan tidur nyenyak.
Dengan demikian, tubuh menjadi resisten terhadap rasa sakit, mampu bertahan terhadap kelelahan dan sakit kepala yang disebabkan ketegangan (Sa’adah, 2011).
Kesimpulan dan Saran
Didapatkan bahwa rerata skala nyeri sebelum terapi bekam pada pasien cephalgia adalah 5.9 serta nilai minimal 4 dan nilai maksimal 8. Rerata skala nyeri sesudah terapi bekam pada pasien cephalgia adalah 1.8 serta nilai minimal 0 dan nilai maksimal 4 dengan kesimpulan terapi bekam efektif terhadap penurunan nyeri pada pasien cephalgia.
Saran kepada penderita nyeri kepala (cephalgia) dan keluarganya agar memanfaatkan terapi bekam. Menambah pengetahuan masyarakat tentang terapi komplementer dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan yang baru dalam keberhasilan perawatan pasien cephalgia.
Selain itu perlu adanya penyempurnaan pada skripsi ini yang pada penelitiannya terdapat banyak keterbatasan. Sehingga peneliti menyarankan untuk meneliti berikutnya melakukan penelitian lanjutan dengan judul “Efektifitas Terapi Bekam (Terapi Oksidan) Terhadap Penurunan Nyeri Kepala pada Pasien dengan Trauma Kepala”. (The Indonesian Journal of Health Science Vol. 3, Nomor 1, Desember 2012 | Yugi Hari Chandra Purnama/Wahyudi Widada/Moh. Ali Hamid)