Bulan Ramadan sudah selesai. Kegembiraan menyambut ‘Iedul Fitri dilakukan di mana-mana. Umat Islam di seluruh penjuru bumi sudah menjalani puasa selama 29 atau 30 hari.
Sebagaimana yang kita tahu bahwa puasa tidak membatasi ras/suku, pria/wanita, kaya/miskin, tua/muda, anak-anak/dewasa, atau pintar/bodoh.
Semuanya yang beragama Islam wajib berpuasa kecuali mereka yang berhalangan diperbolehkan berbuka puasa.
Sepanjang usia, kita berpuasa saat dewasa (baligh). Bagi laki-laki dihitung baligh semenjak mengeluarkan sperma (mani) dan perempuan sudah haid.
Dalam hukum (fikih) Islam, seseorang wajib berpuasa ketika memenuhi kaidah syariat atau berusia 15 tahun.
Hanya saja, dari sisi usia, kewajiban orang Islam untuk menaati hukum syariat tersebut tidak berlaku secara mutlak.
Kewajiban ini hanya berlaku bagi orang yang berusia akil baligh. Anak yang belum berusia akil baligh tidak terbebani dengan berbagai kewajiban.
Bisa jadi kurang dari usia 15 tahun, seorang laki-laki atau perempuan sudah mencapai usia baligh sehingga hukum syariat berlaku baginya.
Untuk memudahkan hitungan, misalnya seseorang yang lahir tahun 1980 kemudian ditambahkan usia baligh yakni 15 tahun menjadi 1980 + 15 = 1995.
Mudahnya mulai tahun 1415 Hijriah / 1995 Masehi dia sudah dikatakan baligh. Seluruh kewajiban syariat Islam harus diterapkan tanpa terkecuali, termasuk berpuasa satu bulan.
Ramadan 1444 Hijriah / 2023 Masehi saat ini jika dimasukkan dalam hitungan ini, maka seseorang sudah pernah berpuasa selama 28 kali dalam setahun atau 28 kali mengikuti Ramadan (1995-2023).
Namun, apakah selama 28 kali berpuasa Ramadan kita sudah lulus ujian dan menjadi bertakwa?
Padahal tujuan akhir dari puasa Ramadan menjadikan umat Islam bertakwa (tafsir surat Al Baqarah ayat 183).
Tentu saja hakikat takwa harus kita pahamkan dan tanamkan lagi dalam hati.
Menurut kaidah bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari siksaan Allah.
Poinnya adalah mengikuti seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).
Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa yaqi wiqayah. Artinya memelihara dan menjaga diri agar selamat di dunia dan akhirat.
Kata waqa juga bermakna melindungi sesuatu atau melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
Seluruh niat, lisan, dan perbuatan yang dilahirkan harus mengandung kebaikan (manfaat) untuk semua makhluk hidup.
Melindungi sesuatu dari hal-hal yang membahayakan berarti berlaku bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Mungkin di antara kita sering lulus dalam menjalankan puasa selama satu bulan penuh setiap tahunnya.
Hanya saja, implementasi riil setelah Ramadan tidak mengubah perilaku (kebiasaan) kepada sebelas bulan berikutnya.
Tentu sangat disayangkan jika perilaku baik dan religius hanya dilakukan saat bulan Ramadan saja.
Bukankah Ramadan selama sebulan merupakan madrasah rohaniah (pendidikan rohani) yang harus mengubah tabiat manusia buruk menjadi baik, malas menjadi rajin, pelit menjadi dermawan, berperangai buruk (jahat) berubah baik?
Termasuk mengubah pola pikir (mindset) untuk membangun kemaslahatan bagi umat manusia.
Oleh sebab itu, setelah seseorang mengikuti madrasah rohaniah selama sebulan, mereka harus mengimplementasikan kelulusannya di luar Ramadan.
Yakni mengaplikasikan ke-11 bulan berikutnya ke bulan Muharam, Safar, Rabi‘ul Awal, Rabi‘ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir Rajab, Sya‘ban, Syawal, Dzulqa‘dah, dan Dzulhijjah.
Kultur kebaikan dan keselarasan yang diadopsi selama sebulan Ramadan harus dipraktikkan di bulan-bulan di luar Ramadan.
Dengan kata lain, Ramadan selama sebulan penuh menjadi the spirit of master education (pusat belajar perubahan jasmani dan rohani).
Kebiasaan jujur, amanah, sabar, disiplin, rajin, santun, hormat, berkasih sayang, dan lainnya yang sudah didapatkan dalam madrasah rohaniah bisa dimanifestasikan ke dalam sebelas bulan berikutnya.
Me-ramadan-kan sebelas bulan berikutnya menjadikan Ramadan merupakan kebajikan yang sungguh tiada tara.
Jika seseorang mampu menerapkan atmosfer Ramadan pada bulan-bulan berikutnya, maka kenyamanan, keselarasan, dan kebenaran bisa dirasakan oleh seluruh makhluk hidup.
Ketika mindset sudah dibungkus atmosfer Ramadan, secara otomatis seseorang akan berbicara dan bertindak lebih teliti dan berhati-hati.
Sebab hakikat dari takwa (waqa) akan mengontrol mindset dan melahirkan perilaku yang tidak akan pernah merugikan diri sendiri dan menyeleweng dari ajaran kebenaran.
Mengapa, sebab Ramadan sudah mampu membelenggu seluruh jenis nafsu yang ada dalam diri manusia selama satu bulan penuh.
Sehingga cara ini melahirkan kebiasaan yang baik dan menjadikan seseorang berfikir matang dan bijaksana sebelum bertindak.
Apalagi ketika berbicara, maka dirinya akan mempertimbangkan aspek manfaat dan mudharat sebelum mengucapkannya.
Setiap yang diucapkannya memberikan kebaikan dan manfaat bagi semesta sehingga tidak akan berbicara kecuali mengandung kemaslahatan.
Jika Ramadan kita sepanjang tahun belum memberikan efek perubahan (jera) yang dahsyat kepada seseorang, ini bukan berarti Ramadannya yang salah dan keliru.
Sebab dari tahun ke tahun kita sudah menjalani Ramadan sepanjang usia kita.
Kita harus instropeksi dan mawas diri, jika Ramadan tidak mampu memberikan perubahan kepada diri kita, maka haruslah mengupas kesalahan kita lebih mendetail.
Kita tidak perlu mencela dan mengamati perubahan perilaku orang lain.
Justru diri kita sendiri harus melihat dan mengoreksi hati, pikiran, dan pribadi supaya hasil dari madrasah rohaniah ini bisa memberikan perubahan signifikan bersamaan dengan perbuatan lahiriah kita.
Dengan kata lain, jika selama Ramadan hanya mendapatkan rutinitas lapar dan dahaga semata, kita termasuk orang yang celaka.
Sejatinya, hasil akhir Ramadan harus meningkatkan keimanan dan perilaku baiknya untuk kemaslahatan alam semesta.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ’Anhu, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam saat menaiki tangga mimbar. Ketika naik ketingkatan pertama, beliau (Nabi Muhammad) mengatakan “Aamiin”. Kemudian ketika menaiki tingkatan kedua, beliau (Nabi Muhammad) mengatakan “Aamiin”. Kemudian ketika menaiki tingkatan ketiga, beliau (Nabi Muhammad) mengatakan “Aamiin”.
Kemudian para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar Anda mengatakan aamiin sebanyak tiga kali”. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Ketika aku menaiki tingkatan tangga pertama, (malaikat) Jibril ’Alaihis Sallam mendatangiku kemudian berkata: “Celaka seorang hamba yang dia menjumpai bulan Ramadan kemudian Ramadan itu berlalu, dan hal itu tidak membuatnya diampuni dosa-dosanya”. Kemudian aku (Nabi Muhammad) mengatakan “Aamiin”. Kemudian Jibril ’Alaihis Sallam berkata: “Celaka seorang hamba yang ia mendapati kedua orang tuanya atau salah seorang dari mereka (masih hidup) tapi hal itu tidak memasukkannya ke dalam surga”. Kemudian aku mengatakan “Aamiin”. Kemudian Jibril ’Alaihis Sallam berkata: “Celaka seorang hamba yang ketika (ia mendengar) aku disebut (namanya) namun ia tidak bersalawat”. Kemudian aku mengatakan “Aamiin”. (Shahih Sunan At Tirmidzi, Kitab Al ‘Adabul Mufrod 644 (1/224).