Religi

Ramadan Ke-13: Dosa Gemar Bicara Omong Kosong

Ramadan Ke-13: Dosa Gemar Bicara Omong Kosong

Orang Islam yang beriman pasti tidak akan pernah meninggalkan salat lima waktu. Mereka akan mendirikan salatnya dengan khusyuk dan thuma’ninah.

Apabila sudah mendirikan salat, umat Islam dituntut menghindari perbuatan yang tidak berfaedah (sia-sia). Implementasi dari salat salah satunya mencegah seseorang dari kemungkaran.

Persoalannya, hal-hal yang tidak berfaedah (sia-sia) ini seringkali dikerjakan tanpa disadarinya. Ini akibat dari kebiasaan yang sudah menjadi budaya sehingga diperlukan kejelian tersendiri untuk mendeteksinya dan mengubahnya.

Jika tidak ditinggalkan, sangat merugi dan menjadi dosa yang berkesinambungan. Menjaga lisan dari perkataan tidak berfaedah (sia-sia) merupakan hal yang sangat sulit.

Meski demikian, bukan berarti sikap ini tidak bisa dicegah atau dihindari. Tetapi perlu perjuangan dari diri sendiri untuk mengubah kebiasaan (buruk) itu.

Selain niat untuk berbuat baik, meyakini bahwasanya perkataan yang kita ucapkan selalu dicatat (diawasi) malaikat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;

المؤمنون: 1-3) {3} قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ {1} الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ {2} وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam salat mereka. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna” (QS. Al Mu’minun 1-3).

72 الفرقان وَالَّذِينَ لاَيَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS. Al Furqan 72).

القصص: 55 وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَآ أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ لاَنَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil” (QS. Al Qashash 55).

Ibnu Katsir mengartikan lagha dengan makna albaathil, hal yang batil, yaitu mencakup syirik (menyekutukan Allah) –seperti dikatakan oleh sebagian ulama– dan kemaksiatan –seperti dikatakan oleh sebagian lainnya– dan hal-hal yang tak berguna berupa perkataan atau pun perbuatan.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala;

وَالَّذِينَ لاَيَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS. Al Furqan 72).

Kata lagha yang artinya perkataan atau perbuatan tidak berfaedah itu dalam tafsir-tafsir berbahasa Indonesia disebut omong kosong (membual).

Omong kosong merupakan omongan/kata-kata/kalimat walaupun sudah disusun rapi, indah, dan menarik namun tidak ada gunanya. Termasuk di dalamnya perkataan-perkataan yang tidak berguna lainnya.

Menyesatkan Manusia

Untuk mengetahui cakupan makna omong kosong atau perkataan yang tidak berguna itu perlu kita simak juga ayat di bawah ini;

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadiits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olok. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman 6).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan Nadhar bin Harits. Dia membeli seorang hamba wanita yang bekerja sebagai penyanyi.

Dia menyuruh wanita itu bernyanyi untuk orang yang hendak masuk Islam. Nadhar berkata kepadanya: berilah ia makanan, minuman, dan nyanyian.

Kemudian Nadhar berkata kepada orang yang akan masuk Islam itu: ini adalah lebih baik dari yang diserukan Muhammad kepadamu, yaitu salat, puasa, dan berperang membantunya.

Menurut riwayat Muqatil, Nadhar bin Harits ini adalah seorang pedagang yang sering pergi ke Persia. Di sana ia membeli kitab-kitab yang bukan bahasa Arab.

Kemudian isi kitab itu disampaikannya kepada orang-orang Quraisy dengan mengatakan;

“Jika Muhammad menceritakan kepadamu kisah kaum ‘Aad dan Tsamud, maka aku akan menceritakan kepadamu kisah Rustum dan Isrindiar dan cerita-cerita raja-raja Persia”.

Kaum musyrikin Quraisy itu senang mendengarkan perkataan Nadhar ini, dan berpalinglah mereka dari mendengarkan Al Qur‘an. Sangat jelas riwayat-riwayat yang dituliskan dalam tafsir resmi itu.

Terhadap pelaku-pelaku yang aktif menjajakan lahwal hadiits itu Allah mengancam mereka akan dikenai azab yang menghinakan.

Azab yang sudah pasti adalah di akhirat kelak apabila mereka itu tidak menghentikan perbuatannya dan tidak bertobat semasa masih hidup.

Tidak menutup kemungkinan juga azab atau siksa itu akan menimpa sebagai cicilannya di dunia ini.

Bukankah sering kita dengar adanya artis-artis yang terlibat dengan narkoba? Misalnya mendapatkan hukuman yang menghinakan di dunia ini? Ada juga laki dan perempuan yang mabuk-mabukan di diskotek semalaman.

Kemudian saat pulang menjelang pagi mereka keadaan sempoyongan. Lalu saat menyetir mobil, menabrak tiang atau tembok dan kemudian mati dalam keadaan mabuk dan mengenaskan. Na’udzu billah.

Sikap Sahabat Nabi

Orang yang suka lahwal hadiits diancam azab yang menghinakan. Lantas, bagaimana sikap konsumen ataupun sasaran lahwal hadiits yang terdiri dari masyarakat umum?

Masyarakat umum yang dijadikan sasaran lahwal hadiits selayaknya menyimak contoh dari sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam seperti berikut ini;

Diriwayatkan dari Nafi’, dia berkata: Aku berjalan bersama Abdullah bin Umar dalam suatu perjalanan, maka kedengaranlah bunyi seruling, lalu Abdullah bin Umar meletakkan anak jarinya ke lubang telinganya, agar ia tidak mendengar bunyi seruling itu dan ia menyimpang melalui jalan yang lain. Kemudian ia berkata: Ya Nafi, apakah engkau masih mendengar suara itu? Aku menjawab: Tidak. Maka ia mengeluarkan anak jarinya dari telinganya dan berkata: Beginilah aku melihat yang diperbuat rasulullah, jika ia mendengar bunyi semacam itu” (HR. Abu Dawud meriwayatkan peristiwa itu dengan menyebut hadis tersebut munkar).

Namun selanjutnya Abu Dawud meriwayatkan hadis lain sebagai berikut: “Abdullah berkata; saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

إِنَّ الْغِنَاءَ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ. أبو داود، عون المعبود شرح سنن أبي داود / 4925

“Sesungguhnya nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” (Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, hadis Nomor 4925).

Menurut Ibnu Mas’ud, yang dimaksud dengan perkataan lahwal hadiits dalam ayat ini, ialah nyanyian yang dapat menimbulkan kemunafikan di dalam hati.

Sebagian ulama mengatakan bahwa semua suara, perkataan, nyanyian, bunyi-bunyian yang dapat merusak ketaatan kepada Allah dan mendorong orang-orang yang mendengarnya melakukan perbuatan yang terlarang disebut lahwal hadiits.

Dilihat dari penjelasan hadis-hadis tentang bunyi seruling dan nyanyian-nyanyian setan atau yang melalaikan, maka terhadap kata-kata yang tidak bermanfaat harus dicegah.

Apalagi jika nyanyian, cerita, film, lelucon dan sebagainya itu merusak moral, akidah atau melalaikan dari ketaatan pada Allah, tentu lebih terlarang lagi (haram).

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah menjelaskan bahwa nyanyian-nyanyian yang tidak berguna dan bunyi-bunyi seruling serta nyanyian atau ratapan syaitan itu dilarang.

Bahkan diriwayatkan, beliau bersabda bahwa nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati.

Ancaman Azab Allah

Orang yang melakukan lahwal hadiits seperti Nadhar bin Harits jelas-jelas diancam azab yang menghinakan, maka ancaman itu tidak luput kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dan di situlah letak ujian di dunia ini, di samping ujian-ujian lainnya. Dari situlah akan muncul orang-orang yang lulus ujian, yaitu orang-orang yang beruntung.

Siapa itu? Di antaranya adalah orang-orang beriman yang mereka itu khusyuk dalam salatnya dan orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak berguna.

Seperti ditegaskan dalam Surat Al Mu’minun pada tulisan-tulisan di awal tadi. Kita tinggal pilih, kepingin sebagai pengikut Nadhar bin Harits atau di bawah komando Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam?

Waktu dan usia merupakan modal untuk beramal saleh. Orang yang mengerti hakikat ini ia tidak akan menggunakannya kecuali untuk perkara yang bermanfaat.

Dia akan berusaha memanfaatkan segala potensi dirinya untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Di antaranya memanfaatkan lidah (mulut) untuk menghasilkan amalan yang baik dan berguna untuk orang lain.

Dengan lidah, seseorang bisa berzikir dan saling nasihat-menasihati sehingga meraih banyak pahala. Namun sebaliknya, lidah juga bisa mengakibatkan dosa dan menyeret seseorang ke jurang neraka jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan.

Kesadaran seseorang terhadap bahaya lisan akan mendorongnya untuk menjaga lidah sehingga tidak berbicara kecuali hal-hal yang bermanfaat.

Bencana Akibat Lidah

1. Berbicara Sia-sia

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat (HR. Tirmidzi dan HR. Ibnu Majah).

Sesuatu yang tidak bermanfaat itu, bisa berupa perkataan atau perbuatan; perkara yang haram, atau makruh, atau perkara mubah yang tidak bermanfaat.

Oleh karena itu, supaya terhindar dari bahaya lisan yang pertama ini, hendaklah seseorang selalu berusaha membicarakan sesuatu yang mengandung kebaikan. Jika tidak bisa, hendaknya dirinya diam.

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan sesuatu yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan HR. Muslim).

2. Jangan Sok Tahu Jika Tidak Tahu

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya” (QS. Al Isra 36).

Ayat di atas menjelaskan: “janganlah kamu katakan: “aku melihat” padahal kamu tidak melihat, jangan juga katakan “aku mendengar” sedang kamu tidak mendengar, dan jangan katakan “aku tahu” sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban atas semua itu.

Coba lihatlah di sekeliling kita, banyak di antara teman atau saudara kita yang tidak tahu dan tidak mendengar lantas mengklaim dirinya tahu dan mendengar tentang sesuatu.

Harapannya supaya orang yang diajak berbicara terkesima (takjub) dengannya. Masya Allah, sungguh mereka itu akan celaka dan binasa karena kebohongan dan sok-sokannya itu.

Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat di atas adalah sebagai larangan untuk berkata-kata tanpa ilmu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).

Imam Asy Syafi’i menjelaskan makna hadis di atas adalah jika engkau hendak berkata maka berfikirlah terlebih dahulu. Jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut.

Namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu maka tahanlah dirimu dari mengucapkan perkataan tersebut. (Asy Syarhul Kabir ‘Alal Arba’in An Nawawiyyah).

Ciri Muslim Baik

Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia mampu meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu;

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya” (HR. At Tirmidzi).

Oleh karena itu, termasuk di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya.

Bahaya Tidak Menjaga Lisan

Salah satu bahaya tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka meski itu hanyalah perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya.

Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan dalam hadis Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam salah satunya adalah hadis yang telah disebutkan di atas.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu ketika beliau bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka.

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan.

Kemudian berkata kepadanya: Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua? Kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka” (HR. At Tirmidzi).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadis di atas, secara zahir hadis Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan (lisan) yang keluar dari lisan mereka.

Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah.

Termasuk maksiat lisan juga adalah seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik.

Selain itu, dosa lisan lainnya menyatakan persaksian palsu, sihir, menuduh berzina wanita baik-baik, dusta, ghibah (menggunjing), dan namimah.

Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya perbuatan maksiat tersebut. Buah menjaga lisan adalah surga.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

من يضمن لي ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة

“Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, dalam rangka untuk mencari keridhaan-Nya dan mengharap balasan berupa pahala dari-Nya.

Semua ini adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ketika kita sudah mengetahui bahaya yang timbul akibat tidak menjaga lisan, sudah sepantasnya kita selalu berfikir sebelum kita mengucapkan suatu perkataan.

Apakah kiranya perkataan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah atau bahkan sebaliknya akan mendatangkan kemurkaan Allah.

Ingat firman Allah;

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf 18).

Juga firman Allah;

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya” (QS. Al Isra 36).

Semoga selama Ramadan 1444 Hijriah dan seterusnya, Allah senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita, dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang Allah cinta dan Allah ridhai. Wallahu A’lam Bish Shawab.

Tags: