Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puja dan puji hanyalah milik Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Kalimat inilah yang seyogianya harus kita ucapkan terus menerus karena kita bisa berjumpa dengan Ramadan 1444 Hijriah / 2023 Masehi.
Tidak ada kata-kata yang lain kecuali mengucapkan rasa syukur. Mengingat banyak saudara, kerabat, atau orang-orang dekat kita menjelang Ramadan sudah dipanggil Allah.
Sebagai rasa syukur, banyak cara yang bisa dilakukan selama Ramadan saat ini. Selain ibadah wajib (salat, puasa, zakat, dan haji), terdapat ibadah sunah yang sangat dianjurkan selama puasa Ramadan berlangsung.
Seperti salat sunah tarawih, beri’tikaf, berinfak, bersedekah, tadarus Al Qur‘an, umrah, silaturahim, berbekam (hijamah), atau ibadah sunah lainnya.
Tujuannya, dengan memperbanyak ibadah sunah diharapkan bisa menambah (menambal) amalan wajib yang kurang sempurna. Kita selaku umat Islam harus berbahagia.
Perjalanan kita dari kelahiran, kehidupan, dan kematian sudah dipandu Allah melalui wahyu yang diperantarakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Apa pun yang akan dan sudah terjadi sudah disampaikan dalam Al Qur‘an dan hadis dengan sangat detail. Termasuk dalam hal ibadah dan muamalah, Allah dan rasul-Nya sudah menuntun kita.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 3 yang menegaskan bahwa dalam ajaran Islam semuanya sudah komplet dan lengkap.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah 3).
Ibnu Katsir Rahimahulullah dalam penjelasannya mengatakan bahwa hal itu merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan kepada umat Islam.
Allah telah menyempurnakan untuk orang Islam agamanya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi penutup para nabi dan rasul untuk seluruh semesta alam.
Maka tidak ada yang halal melainkan apa yang dihalalkan Allah dan tidak ada yang haram selain apa yang sudah diharamkan Allah.
Demikian juga dengan seseorang yang ditimpa sakit jasmani atau rohani. Pengobatan cara Thibbun Nabawi sudah dilakukan sejak zaman kenabian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Secara maknawi, Thibbun Nabawi merupakan segala sesuatu yang disebutkan oleh Al Qur‘an dan hadis yang yang berkaitan dengan kedokteran. Baik untuk pencegahan (penyakit) atau pengobatannya.
Thibbun Nabawi dimaknai dengan petunjuk rasulullah dalam kedokteran yang berobat dengannya atau untuk mengobati orang lain.
Selain itu, Thibbun Nabawi yang menjadi metode pengobatan rasulullah yang diucapkan, tetapkan (akui), dan diamalkan. Hal ini merupakan pengobatan yang pasti dan bukan sangkaan.
Sebab dapat mengobati penyakit jasad, ruh, dan indera manusia. Setiap penyakit itu ada obatnya sebagaimana hadis rasulullah yang artinya;
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia (Allah) turunkan untuk penyakit itu obatnya” (HR. Bukhari No. 5678).
Dengan demikian, setiap manusia yang sakit bisa diobati dengan petunjuk Al Qur‘an dan sunah. Dalam hadis yang lain disebutkan juga;
“Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan obatnya bersamanya. Hanya saja tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang mengetahuinya” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453).
Jika seseorang sakit kemudian berobat akan diperoleh kesembuhan. Sabda rasulullah: “Setiap penyakit ada obatnya. Bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah” (HR. Muslim No. 5705).
Dalam Islam, beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat bisa didapatkan atas izin Allah yang terbebas dari syirik. Semestinya, kita sebagai umat Islam tidak meninggalkannya dan beralih kepada pengobatan lain.
Atau dengan kata lain, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif (sampingan).
Justru kita umat Islam harus menjadikan Thibbun Nabawi sebagai cara pengobatan yang utama karena kepastiannya sudah dijamin Allah dan rasulullah.
Pengobatan yang diajarkan rasulullah diyakini kesembuhannya karena bersumber wahyu. Maka berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seseorang tidak boleh bersandar semata dengan pengobatan tertentu.
Tidak boleh juga seseorang meyakini bahwa obat atau tabib (tukang mengobati) yang memberikan kesembuhan sakitnya. Tapi kepada Allah-lah yang memberikan penyakit dan sekaligus menurunkan penawarnya.
Sebagaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Sallam tentang Tuhan-Nya;
“Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (QS. Asy Syu’ara` 80).
Banyak hadis tentang Thibbun Nabawi yang menjelaskan persoalan pengobatan. Di antaranya tentang ruqyah.
Ruqyah sebuah metode penyembuhan dengan cara membacakan ayat-ayat Al Qur‘an kepada orang yang sakit akibat dari al ‘ain (mata hasad), sengatan hewan, sihir (teluh, santet, pelet, dllnya), racun, rasa sakit, sedih, gila, kerasukan, gangguan jin, dan lainnya.
Selain itu mengenai hijamah atau berbekam. Terapi ini merupakan cara pengobatan yang sederhana, yakni mengeluarkan darah kotor dari tubuh dengan cara menggores permukaan kulit dan menyedot darah dari permukaan kulit.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alahi Wa Sallam yang artinya;
“Kesembuhan itu terdapat pada tiga hal, yakni meminum madu, sayatan (goresan) alat bekam, dan kay (sundutan) dengan api, tetapi sesungguhnya aku (Rasulullah) melarang umatku melakukan kay” (HR. Bukhari).
Berbekam adalah mengeluarkan darah dari permukaan kulit melalui sebuah alat khusus. Hal ini merupakan metode pengobatan yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Saat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan Isra’ dan Mi’raj, Nabi Muhammad tidak hanya menerima wahyu salat wajib (fardhu), tetapi juga mendapat perintah dari malaikat.
Sebuah perintah dan wasiat yang sangat menakjubkan. Namun pada kenyataannya, umat Islam belum banyak melakukan pengobatan dengan cara bekam.
Padahal jika diteliti secara medis konvensional (modern), bekam yang dperintahkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam banyak mengandung manfaat.
Pada kasus tekanan darah tinggi misalnya, jika tidak diobati akan mengakibatkan penyakit stroke atau pembuluh darah pecah.
Darah yang dikeluarkan dari mangkuk bekam merupakan darah rusak akibat dampak terpapar oksidan. Oksidan nama lainnya adalah radikal bebas setara dengan reactive oxygen species (ROS).
Bekam bisa mengobati diabetes (kencing manis), gangguan sirkulasi darah, penyempitan pembuluh jantung, paru-paru, ginjal, dan berbagai penyakit lainnya.
Hal ini disebabkan darah merah dalam tubuh terkena berbagai macam racun yang berasal dari asap kendaraan, asap rokok, makanan, atau minuman tercemar radikal bebas.
Saat asap atau asupan makanan masuk ke dalam tubuh karena mengandung radikal bebas, lanjut akan menjadikan sel darah merah menjadi tidak elastis (keras).
Sehingga sel darah yang seharusnya membawa oksigen sebagai penghantar oksigen ke dalam jaringan menjadi terganggu. Dengan demikian jika terganggu maka akan timbul keluhan-keluhan secara klinis.
Seperti sering capai, mudah lelah, masuk angin, dan sebagainya. Dengan pembekaman terbukti dapat mempercepat regenerasi sel darah merah. Sehingga fungsinya sebagai penghantar oksigen akan kembali maksimal.
Kalau berbekam dilakukan dengan teratur maka fungsi organ akan kembali kepada fungsi normal, optimal, dan terbebas dari segala macam penyakit.
Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya bekam bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Dengan demikian, bekam (hijamah) menjadi salah satu pilihan agung dalam mencari kesembuhan yang hakiki.
Selain itu, bekam (hijamah) sebagai rahmat Allah agar setiap hamba melakukannya selama Ramadan sebagai suatu amalan tambahan.
Dengan demikian umat Islam akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang banyak. Semoga Allah memudahkan kita melakukan bekam (hijamah) yang penuh keberkahan ini, aamiin ya robbal ‘alamin.