Alhamdulillah kita harus bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala nikmat yang sudah diberikan sampai detik ini tidak terhingga jumlahnya.
Jika kita mau hitung nikmat-nikmat Allah, maka kita tidak akan bisa dan tidak akan sanggup menghitungnya.
Coba kita bandingkan antara nikmat-nikmat Allah yang kita peroleh selama ini dengan musibah? Pasti yang banyak adalah nikmat. Ada pun musibah hanya sebentar, tidak lama.
Allah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Artinya:
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (QS. Ibrahim 34).
Nikmat Allah yang sudah dikaruniakan kepada kita sangatlah banyak, tidak terhingga jumlahnya. Semua yang ada pada kita gratis diberikan Allah tanpa batas.
Mari kita hitung oksigen yang kita hirup dari sejak terlahir ke bumi sampai saat ini? Sudah berapa juta kali kita menghirup oksigen gratis dari Allah?
Kita tidak perlu membayar atau harus membeli tabung berisi oksigen. Demikian juga dengan urusan kamar mandi dan toilet. Sudah berapa juta kali tanpa halangan kita bisa membuang hajat di kamar mandi dan toilet?
Demikian juga nikmat-nikmat yang sudah Allah berikan kepada kita selain itu? Sungguh tidak terhingga dan kita tak akan pernah bisa menghitungnya.
Semuanya yang kita peroleh dan nikmati sampai sekarang ini datangnya hanya dari Allah Rabbul ‘Aalamiin. Masih kurangkah kita bersyukur atas nikmat-nikmat Allah itu?
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ
Artinya:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (QS. An Nahl 53)
Cobaan dan Ujian
Allah yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya ciptaan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At Tiin 4)
Cobaan (ujian) hidup yang menimpa setiap mahkluk merupakan sunnatullah dalam kehidupan. Hidup ini tidak bisa lepas dari cobaan dan ujian sesuai dengan kehendak Allah.
Sebuah konsep dalam agama Islam yang merujuk pada aturan-aturan alam yang berlaku dan teratur dalam ciptaan Allah adalah sunnatullah. Sunnatullah tidak akan bisa berubah sesuai dengan kehendak-Nya.
Firman Allah:
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا ۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya;
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu ” (QS. Al Isra’ 77)
Firman Allah:
سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا
Artinya:
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah” (QS. Al Ahzab 62).
Selama masih di dunia yang fana ini, seluruh manusia akan diuji dengan segala sesuatunya. Baik ujian dengan hal-hal yang dan disukainya atau berbagai perkara yang dibenci dan tidak disukainya.
Firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Artinya:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami” (QS. Al Anbiya’ 35).
Pada ayat ini, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhuma mengatakan bahwa Allah akan menguji manusia dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan.
Firman Allah:
وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا ۖ مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَٰلِكَ ۖ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya:
“Dan Kami pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, di antaranya ada orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali kepada kebenaran” (QS. Al A’raaf 168).
Ibnu Jarirath Thabari Rahimahullah menafsirkan: “Kami menguji mereka dengan kemudahan dalam kehidupan, dan dengan kesenangan dunia serta kelapangan rezeki. Inilah yang dimaksud dengan kebaikan-kebaikan (الـحَسَنَاتُ) yang Allah sebutkan (dalam ayat tersebut).
Sedangkan ujian yang buruk-buruk (السَّيِّئَاتُ) adalah kesempitan dalam hidup, kesulitan, musibah, petaka, penyakit, dan sedikitnya harta (melarat). Ada pun (لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ) “agar mereka kembali” yaitu kembali taat (patuh) kepada Rabb, agar kembali kepada Allah dan bertaubat dari perbuatan maksiat yang dilakukan.
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Kami menguji mereka dengan kemudahan, kesulitan, kesenangan, rasa takut, ‘afiat, dan bencana”.
Dari ayat-ayat di atas, dijelaskan bahwa berbagai macam penyakit merupakan bagian dari cobaan-cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Sunnatullah ini telah ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmah-Nya.
Ketahuilah wahai saudara dan saudariku yang sedang terkena sakit, sedang tertimpa musibah, sedang mengalami kesulitan, kefakiran, kemiskinan, kelaparan, dan selainnya.
Sesungguhnya Allah tidak menetapkan sesuatu kepada makhluknya, baik itu takdir kauni atau syar’i, melainkan di dalamnya terkandung kebaikan dan rahmat bagi hamba-Nya.
Di dalam cobaan hidup seseorang terkandung hikmah yang sangat besar yang tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia. Berbagai cobaan, ujian, penderitaan, penyakit, kesulitan, dan kesengsaraan memiliki manfaat dan hikmah yang sangat banyak.
Allah menciptakan makhluk-Nya untuk memberikan cobaan dan ujian. Lalu Dia menuntut konsekuensi dari kesenangan, yaitu bersyukur dan konsekuensi dari kesusahan, yaitu bersabar.
Apabila seseorang benar-benar beriman kepada Allah, maka segala urusannya merupakan kebaikan. Jika dia sedang mendapati kesenangan, maka dia akan bersyukur. Sedangkan ketika dia susah, maka dia senantiasa bersabar.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Artinya:
“Sungguh amat menakjubkan urusan orang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan itu merupakan kebaikan baginya” (HR. Muslim No. 2999).
Allah berfirman:
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ، وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ
Artinya:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al ‘Ankabuut 2-3).
Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan bahwa Allah harus menguji hamba-hamba-Nya yang beriman sesuai dengan kadar keimanan yang mereka miliki.
Syaikh Muhammad Al Amin bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithiy Rahimahullah memaknai ayat di atas bahwa manusia tidak akan dibiarkan oleh Allah tanpa fitnah, yaitu cobaan dan ujian.
Sebab mereka telah berkata: ‘Kami beriman’. Bahkan apabila mereka berkata: ‘Kami beriman’, maka mereka pasti dicoba dan diuji dengan berbagai macam cobaan dan ujian, sehingga jelas dengan cobaan dan ujian tersebut siapa yang jujur dengan perkataan beriman dan siapa yang tidak jujur.
Satu hal yang mustahil di dunia ada orang yang tidak diuji oleh Allah, kalau ada mestinya yang pertama kali adalah orang-orang yang dicintai Allah yaitu para nabi dan rasul.
Seluruh nabi-nabi dan rasul-rasul adalah orang-orang yang diuji oleh Allah dengan ujian yang sangat berat padahal mereka itu semuanya terpelihara dari dosa (ma’shum).
Para nabi dan rasul diuji Allah dengan ujian yang sangat berat. Di antaranya Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Ayyub, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, Nabi ‘Isa, dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kita bisa lihat dalam sejarah nabi dan rasul, Nabi Nuh Alaihis Shalatu Wa Sallam, rasul ‘ulul azmi yang pertama diuji Allah. Istri dan anaknya kufur menentang Nabi Nuh dan tidak mau mengikuti agama Islam yang dibawa Nabi Nuh.
Kala azab ditimpakan, Nabi Nuh melihat istri dan anaknya tenggelam ditelan air bah dan ombak yang besar bersama orang-orang yang membangkang. Bahkan sebelumnya Nabi Nuh diejek, dihina, difitnah, dan diolok-olok kaumnya.
Begitu juga Nabi Ibrahim Alaihis Shalatu Wa Sallam yang diuji Allah. Bapaknya pembuat patung dan penyembah berhala. Nabi Ibrahim diuji juga dengan dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala.
Nabi Ibrahim juga diuji setelah menunggu lama kelahiran anaknya yang tercinta yaitu Nabi Ismail supaya anaknya disembelih atas perintah Allah.
Kemudian Allah ganti dengan domba yang besar, dan ujian-ujian berat lainnya. Kita tahu Nabi Ibrahim sangat sabar atas cobaan dan ujian tersebut.
Demikian juga kisah Nabi Musa Alaihis Shalatu Wa Sallam dengan kaum Bani Israil, Fir’aun, Samiri, dan ujian-ujian lainnya yang sangat banyak. Nabi Musa pun tetap sabar atas cobaan dan ujian tersebut.
Pun dengan orang-orang Yahudi yang berusaha untuk membunuh Nabi Isa Alaihis Shalatu Wa Sallam. Kemudian usaha mereka (Yahudi) digagalkan Allah. Allah pun mengangkat (meyelamatkan) Nabi Isa ke langit kedua.
Sampai akhir zaman atau mendekati kiamat kubra nanti, Nabi Isa akan turun ke dunia untuk menikah dengan salah umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, membunuh Dajjal, dan memimpin kejayaan Islam saat itu.
Tidak ketinggalan Nabi Ayyub Alaihis Shalatu Wa Sallam yang diuji Allah dengan penyakit yang sangat parah selama 18 tahun. Selama menderita sakt itu, anak-anak Nabi Ayyub semuanya meninggal dunia.
Semula Nabi Ayyub yang kaya raya, hartanya habis. Allah jadikan Nabi Ayyub menjadi orang yang fakir. Beliau hanya ditemani oleh istrinya, Rahmah binti Afraim bin Yusuf bin Ya’qub, dan dua orang temannya yang membantunya setiap hari.
Semua ujian dan cobaan itu diterima Nabi Ayyub diterima dengan sabar dan lapang dada. Beliau sabar dan ridha dengan takdir Allah yang sangat pahit. Hingga Allah memuji kesabaran Nabi Ayyub dalam firman-Nya:
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَٱضْرِب بِّهِۦ وَلَا تَحْنَثْ ۗ إِنَّا وَجَدْنَٰهُ صَابِرًا ۚ نِّعْمَ ٱلْعَبْدُ ۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ
Artinya:
“Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Nabi Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat kepada Allah” (QS. Shad 44).
Selama sakit dan fakir berkepanjangan Nabi Ayyub senantiasa berdoa kepada Allah tanpa lelah dan berhenti. Dia memohon kepada Allah agar mengampuninya dan mengangkat penyakitnya. Lalu Allah jawab doanya:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya: ‘(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang” (QS. Al Anbiya’ 83).
Firman Allah:
فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ فَكَشَفْنَا مَا بِهِۦ مِن ضُرٍّ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ أَهْلَهُۥ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَٰبِدِينَ
Artinya:
“Maka Kami kabulkan doanya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan jumlah mereka sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami” (QS. Al Anbiya’ 84).
Semua ini berkat kesabaran Nabi Ayyub atas cobaan dan ujian yang sangat berat ditimpakan Allah kepadanya. Tujuannya agar bisa menjadi contoh bagi manusia sesudahnya tentang kesabaran dalam menghadapi penyakit, hartanya yang habis, menjadi fakir dengan sebab ujian tersebut, dan seluruh anak-anaknya meninggal dunia, dan lainnya.
Firman Allah:
وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ ۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Artinya:
“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia sendiri. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Yunus 107).
Walau demikian, yang harus kita pahami dan sadari, bahwa nabi dan rasul yang paling berat dan banyak sekali cobaan serta ujiannya mulai sejak lahir sampai wafat adalah kekasih Allah. Yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Saat beliau di Mekkah dicela, diejek, dilempari kotoran binatang ketika salat di depan Ka’bah, diusir, diboikot, diancam mau dibunuh beberapa kali, bahkan para sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum disiksa, dibunuh, diusir, dan lainnya.
Ujian Manusia Berlevel
Manusia akan diberikan cobaan dan ujian oleh Allah tergantung kepada kadar keimanan mereka. Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْـجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ ، وَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
Artinya:
“Sungguh besarnya pahala setimpal dengan besarnya cobaan, dan sungguh, Allah apabila mencintai suatu kaum, Allah menguji mereka dengan cobaan. Barang siapa yang ridha maka baginya keridhaan dari Allah, sedang barang siapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah” (HR. At Tirmidzi No. 2396 dan HR. Ibnu Majah No. 4031).
Dalam penjelasan hadis-hadis di atas menunjukkan bahwasanya ujian manusia itu bertingkat-tingkat. Ujian orang-orang yang saleh pada zaman nabi dan rasul dulu sangatlah berat dan mungkin tidak akan terjadi pada sekarang ini.
Jika ada di antara kita umat Islam yang ada sekarang ini diberikan ujian berupa penyakit, kematian, kemiskinan (kefakiran), kelaparan, ketakutan, dan tantangan menapaki hidup belumlah setara dengan ujian orang-orang terdahulu.
Iman Kepada Takdir
Kondisi yang terjadi sekarang ini dan bisa kita lihat atau rasakan saat ini wajib diimani sebagai takdir yang buruk atau takdir yang pahit.
Bahwasanya dengan cobaan dan ujian setelah wabah virus Covid-19, otomatis roda perekonomian di dunia menjadi lesu bahkan macet.
Orang-orang miskin (fakir) dan orang-orang yang susah semakin bertambah banyak. Mereka yang terkena PHK sangat banyak, pengangguran juga tidak terhitung jumlahnya.
Masalah lain yang muncul akibat kondisi ini adalah timbulnya kerugian yang banyak dari kalangan para pengusaha besar/sedang/kecil, pedagang, guru-guru, dan selainnya. Sehingga membuat mereka tidak memiliki penghasilan, tidak punya uang, tidak bisa beli apa-apa, kelaparan, hingga terlilit hutang.
Beginilah kehidupan, inilah cobaan, inilah adalah ujian. Kita wajib melihat bahwa semua ini Allah yang menakdirkan dan Allah sudah tulis dalam Lauh Mahfuzh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.
Kewajiban kita mengimani bahwa Allah yang menakdirkan semua ini, kita wajib meyakini bahwa Allah Maha Adil, Maha Sayang kepada hamba-hamba-Nya. Dan semua itu ada hikmahnya, dan apa yang Allah takdirkan semuanya baik.
Iman kepada takdir ada dua. Sebagaimana di dalam hadis ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditanya tentang apa itu iman? Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ ، وَمَلَائِكَتِهِ ، وَكُتُبِهِ ، وَرُسُلِهِ ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
Artinya:
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk” (HR. Muslim No. 8).
Selaku umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kita wajib mengimani takdir yang baik maupun takdir yang buruk, yang manis maupun yang pahit. Seluruh manusia tidak akan bisa menolak, atau pun menghindar dari takdir Allah.
Semua berjalan menurut apa yang Allah sudah takdirkan. Termasuk yang sekarang ini sedang menimpa kita umat Islam di seluruh dunia.
Apakah itu bentuknya ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kekurangan jiwa (banyak orang yang mati), dan kurangnya bahan-bahan makanan, buah-buahan, dan sebagainya. Semua ini merupakan cobaan dari Allah.
Jika semua yang akan atau sudah terjadi di langit dan di bumi dan di alam semesta raya, mulai hidup mati, senang susah, panas dingin, sehat sakit, kaya miskin, rasa aman takut, dan lainnya sudah ditakdirkan, maka kewajiban kita dalam kondisi susah, sulit, fakir, sakit, dan lainnya adalah bersabar.
Kita wajib mengimani dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Sayang. Kita harus sabar melaksanakan perintah-perintah Allah, menjauhkan larangan-larangan-Nya.
Kita harus sabar dengan tidak berkeluh kesah, tidak marah, tidak kesal terhadap takdir Allah. Sebab berkeluh kesah, marah, bersedih, dan putus asa tidak akan dapat menghilangkan musibah, bencana, dan penyakit yang sedang kita hadapi ini.
Firman Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ، ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ ، أُو۟لَٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ
Artinya:
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: “Innaa lillahi wainnaailaihiraaji’uun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al Baqarah 155-157).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa hakikatnya ujian yang diberikan Allah kepada makhluk bukan untuk menghilangkan keimanan dan mengeluarkan seseorang dari agamanya. Sebab Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan hamba-Nya.
Orang yang diberikan taufik untuk bersabar ketika terjadinya musibah tersebut, dia akan menahan dirinya untuk tidak murka. Baik itu dengan perkataan maupun perbuatan, dia akan tetap mengharapkan pahalanya di sisi Allah.
Ganjaran kesabaran akan didapatkan kelak lebih besar dari musibah itu sendiri. Bahkan, musibah baginya merupakan nikmat, karena dengan musibah tersebut ia mendapatkan apa yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Orang yang seperti ini hakikatnya telah melaksanakan perintah Allah dan sukses memperoleh ganjaran (pahala). Ayat ini juga menunjukkan bahwa siapa yang tidak bersabar, maka dia akan mendapatkan kesempitan hidup.
Wajib bagi setiap muslim menahan dirinya, menahan lisannya tidak berkeluh kesah, tidak melaknat musibah, tidak melaknat atau mencaci maki kesulitan.
Selain itu kita sebagai muslim wajib menahan seluruh anggota tubuhnya tidak memukul-mukul wajah, pipinya, tidak merobek-robek baju, tidak melempar sesuatu karena marah dengan takdir Allah yang sangat pahit. Seorang muslim wajib menahan diri dari semua itu.