Religi

Ramadan Ke-4: Celaka Bagi Orang yang Lalai Salatnya

Ramadan Ke-4: Celakalah Orang yang Lalai Salatnya

Salah satu hadiah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam perjalan Isra’ dan Mi’raj-nya adalah salat lima waktu. Hal tersebut dipertegas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Iman Muslim yang berbunyi;

“Dari Murra, dari Abdullah beliau berkata bahwa ketika Rasulullah diisra’kan oleh Allah beliau tertahan (hanya bisa sampai) di Sidhratil Muntaha. Maka (pada saat itu) beliau dianugerahkan tiga hal; salat lima waktu, ayat-ayat terakhir Al Baqarah, dan ampunan bagi orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun”.

Di dalam Al Qur‘an ditemukan sejumlah ayat yang memerintahkan pelaksanaan salat. Ayat-ayat tersebut pada umumnya diawali dengan kata yang berarti berdiri, padahal tidak demikian.

Para ulama berbeda pendapat tentang makna asal kata tersebut. Ada yang berpendapat dia terambil dari kata yang digambarkan tertancapnya tiang sehingga ia tegak lurus dan mantap. 

Ada juga yang mengatakan bahwa ia terambil dari kata yang melukiskan pelaksanaan sesuatu dengan giat dan benar. 

Betapa pun beraneka pendapat tentang asal maknanya, kitab tafsir yang paling singkat dan sederhana, tafsir Al Jalalin menjelaskan kata dengan melaksanakan salat berdasarkan hak-haknya.

Yakni dengan khusyuk sesuai syarat, rukun, dan sunnahnya, sebagaimana diajarkan oleh junjungan nabi kita, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Hanya saja, jika kita mencoba mengkaji istilah khusyuk baik di dalam Al Qur‘an maupun dalam hadis-hadis, tidak dikemukakan penjelasan makna kata tersebut.

Penjelasan khusyuk di dalam salat juga tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fikih yang telah ditulis oleh para fuqaha.

Padahal, kita sepakat bahwa salat yang dinilai dan diterima oleh Allah adalah salat yang khusyuk. Khusyuk sebagai dikemukakan oleh para ahli tidak lain kecuali zikir di dalam salat.

Sebab tidak bernilai apa-apa kecuali zikir, sebagaimana firman Allah dalam surat Thaha ayat 14;

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Artinya:

“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikianlah salat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha 14).

Ayat di atas dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan salat sebenarnya hanyalah untuk mengingat atau zikir kepada Allah. Kata zikir dari segi bahasa berarti menyebut atau mengingat.

Atas dasar ini, para ahli tafsir memperkenalkan dua macam zikir, yaitu dengan lidah atau bi al lisan dan dengan hati atau bi al qalb.

Di samping itu, zikir juga memiliki dua sisi, yaitu sisi pasif dan sisi aktif. Yang pertama berfungsi mengosongkan hati dari segala yang menggundahkannya.

Sedangkan yang kedua menghiasi jiwa dengan kehadiran Allah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang melaksanakan salat dengan khusyuk, yaitu dengan zikir.

Interaktualisasi di dalam dirinya hati yang tenang, pikiran yang cerah, selalu positive thinking dan berlapang dada. Ingatannya kepada Allah menjadikan ia terhindar dari dengki, kikir, riya, angkuh (sombong), dan sok-sokan.

Betapa tidak, bukankah ia hidup selalu diawasi Allah, merasa kuat dengan-Nya sambil menyerahkan diri kepada-Nya setelah melakukan segala upaya. (Dan Dia Allah bersama kamu di mana saja kamu berada, Al Hadid 4).

Janji Allah dalam surat Ar Ra’d ayat 28;

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Artinya:

“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwasanya hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar Ra’d 28).

Hati yang damai, tenteram, dan diselimuti sifat yang baik tentu akan mencerminkan kehidupan pribadi yang khusyuk dan baik.

Mereka tidak akan melakukan aktifitas yang melanggar syariat karena hatinya senantiasa berzikir kepada Allah.

Sebaliknya, orang melaksanakan salat hanya untuk melepaskan kewajiban dan bukan sebagai kebutuhan rohaniah, maka nilai salatnya akan minim dan mungkin tidak akan bernilai apa-apa di sisi Allah.

Itulah Allah selalu mengingatkan kepada kita agar menjaga salat dan jangan sampai lalai di dalam melaksanakannya.

Hal tersebut dipertegas Allah di dalam surat Al Ma’un ayat 1-5;

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Artinya:

“Maka kecelakaan bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang orang yang lalai dari salatnya” (Al Ma’un 4-5)

Menurut Al Imam Al Qurthubi di dalam tafsirnya Al Jami Li Ahkam Al Quran menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata sahun atau lalai adalah;

a. Tidak ada rasa penyesalan dan rasa takut ketika dia meninggalkan salat
b. Tidak melakukan salat tepat waktu (sesuai) dengan jam yang ditentukan
c. Tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya alias tidak thuma’ninah gerakannya

Ketiga kriteria yang dikemukakan diatas memang sangat memungkinkan seseorang untuk tidak khusyuk di dalam salatnya.

Orang yang salat pada akhir waktu umpamanya, dia akan selalu terburu-buru bagaikan dikejar-kejar sesuatu. Itulah sebabnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menganjurkan kita untuk salat pada awal waktu.

Sebab salat di awal waktu akan berpengaruh terhadap penyempurnaan rukuk dan sujudnya seseorang. Dalam Al Qur‘an, ada dua perintah Allah yang sering disebutkan secara bergandengan.

Yaitu perintah untuk menegakkan salat dan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah pertama lebih menekankan hubungan kepada Allah.

Sedangkan yang kedua lebih menekankan hubungan kepada sesama manusia. Akan tetapi, tidak berarti kedua perintah tersebut hanya memiliki satu bentuk hubungan.

Salat tidak berarti jika hasilnya hanya akan melepaskan kewajiban kepada Allah. Salat itu dianggap berarti jika dapat berpengaruh di dalam pergaulan kepada sesama manusia (habluminan naas).

Hal ini juga dapat berarti bahwa salat memiliki dimensi sosial. Seseorang yang melakukan kezaliman (kejahatan), yakni mereka yang tidak peduli kepada orang-orang yang ada di sekitarnya dapat dikategorikan bahwa nilai-nilai salatnya belum teraktualisasi dalam kehidupan mereka.

Dengan demikian, apa-apa yang sudah digambarkan dalam tulisan ini tampaknya menunjukkan bahwa zikir di dalam salat yang merupakan inti kekhusyukan yang sangat susah untuk dilakukan. Walau begitu, hal itu tidak berarti tidak bisa dilakukan.

Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kekhusyukan di dalam salat, salah satu cara yang harus ditempuh adalah dengan membiasakan diri melaksanakannya.

Mungkin pada awalnya masih susah untuk khusyuk, tetapi jika dilakukan secara berkelanjutan maka dengan sendirinya akan muncul.

Inilah mungkin salah satu rahasia mengapa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menganjurkan kepada para orang tua agar mengajarkan salat kepada anak-anaknya ketika usia mereka masih dini (belia).

Yang jelas bahwa kita salat harus dikerjakan sebagai washillah (perantara) kepada Allah. Apabila washillah tersebut sudah terputus maka hubungan kepada Allah juga terputus.

Apabila hal tersebut terjadi maka sangat memungkinkan hubungan sosial kepada sesama manusia juga terputus karena orang seperti ini tidak mendapat hidayah dari Allah.

Untuk mendapatkan hidayah dari-Nya, jalan yang paling ampuh adalah melalui media salat, karena di dalamnya diajarkan bagaimana memaksimalkan ingatan kepada-Nya.

Dan selanjutnya orang yang banyak mengingat Allah tentu dengan sendirinya selalu terhindar dari perbuatan yang fakhsya’ (semua perbuatan buruk) dan mungkar.

Baik kepada Allah juga kepada sesama manusia, dan bahkan kepada mahluk Allah yang lainnya. Wallahu A’lam Bish Shawab.

Tags: