Oksidan

Bekam Jarum Menyelisihi Dalil Rasulullah

Bekam Jarum Menyelisihi Dalil Rasulullah

Bekam dengan cara menusuk atau tusukan atau jarum berbahaya dan termasuk malapraktik. Banyak alasan dan larangan yang mengemuka atas teknik jarum tersebut.

Bicara thibb nabawi atau thibb islami atau pengobatan cara nabi, harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan sunah (hadis).

Perkara bekanm (hijamah) marilah kita kembalikan kepada sunah Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam yang sudah pasti.

Dalam bahasan ini, iman merupakan kunci pertama. Dalam hadis yang artinya;

الشِّفَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَإِنِّيْ أَنْهَى أُمَّتِيْ عَنْ الْكَيِّ

“Kesembuhan bisa diperoleh dengan tiga cara, minum madu, sayatan pisau bekam (hijamah), dan sundutan api. Namun aku (Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam) melarang umatku berobat dengan sundutan api” (HR. Muslim)

Kata “syarthah mihjam” torehan atau sayatan adalah suatu kemutlakan. Tidak ada kata lain dalam sistem pengeluaran darah bekam atau hijamah yang disebutkan di seluruh hadis-hadis shahih dan kitab-kitab kecuali dengan metode syarthoh atau sayatan atau torehan.

Di dalam kamus Al Mawrid disebutkan makna syarthoh adalah hyphent (-) tanda baca yang biasanya disebut strip, yaitu bentuk yang menggaris. Kata kerjanya syaratha, berarti incese, menyayat, menoreh.

Dalam kamus modern lain disebutkan makna syaqqa, artinya membelah, mengiris. Bentuk sayatan, torehan, belahan dan irisan beda dengan tusukan yang membentuk titik.

Dalam kitab Mirqatul Mafatih dalam bab Kitab Ath Thibb War Ruqa disebutkan pengertian syarthoh yang merupakan bentuk fa’lah, artinya asy syaqq, membelah, mengiris.

Dalam kitab Faidhul QadirAl Imam Al Qurthuby menjelaskan makna syarthoh mihjam adalah al hadidah al lati yusyrotu biha, pisau besi yang digunakan untuk menyayat.

Ini hanya sebagian kecil dari hamparan uraian kata ini dalam kitab-kitab hadis. Kata syarthoh ini dikuatkan lagi dengan uraian lain bahwa alat yang digunakan dalam proses bekam (hijamah) dengan syafrah, yakni as sikkin atau menggunakan pisau.

Ini artinya Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam tidak sembarangan memilih metode sayatan atau goresan atau syarthoh.

Ada hikmah, ada rahasia yang sangat besar dari pemilihan metode ini. Padahal kita tahu pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam sudah ada jarum.

Jika sekarang ini muncul tafsir yang penting keluar darah. Pokoknya asal keluar darah dari permukaan kulit dengan cara sembarangan tentu pendapat ini tentu salah dan tidak dibenarkan.

Sebagai hamba Allah, pembekam atau yang ingin dibekam harus tahu duduk persoalan ini.

Kata syarthoh mihjam merupakan jenis kata zhahir dan bukan musykil. Maknanya sudah langsung dapat dipahami dan tidak ada yang tersamar.

Dalam penjelasan kitab-kitab syuruh hadis sudah sangat jelas. Ketidaktahuan tentang sesuatu tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak sesuatu itu.

Solusinya keluar dari ketidaktahuan atau kebodohan. Hal-hal yang terkait dengan bekam jarum, metodenya, termasuk efek buruknya adalah perkara-perkara yang sangat teknis.

Masalah-masalah teknis seperti inilah yang sering dibuat sebagai alat pengalih dari inti. Ada kajian anatomis fisiologis di balik metode syarthah ini.

Jadi, bekam (hijamah) dengan metode syarthoh akan mengenai kapiler yang hasilnya sesuai dengan syariat.

Sedangkan metode tusukan, jarum ujungnya mengenai arteriol, venule, arteri atau vena muskularis kecil yang membuat darah yang keluar lebih banyak dari normalnya.

Salah Pemahaman

Pengalaman kami berkecimpung di dunia bekam (hijamah) atau terapi oksidan selama bertahun-tahun, kebanyakan pasien yang dibekam menggunakan jarum, hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Justru satu atau dua jam setelah dibekam dengan jarum badannya lemas, demam (panas dingin) selama tiga hari, dan kondisinya tidak nyaman selainnya.  

Suatu hari kami mengadakan pengajian dan sosialisasi bekam (hijamah) di wilayah Tanjung Piayu Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau awal November 2005 lalu.

Tak lama datanglah seorang ustaz (ahli fikih dan hadis) dan bertanya. Dia mengisahkan kepada kami tentang kejadian tidak menyenangkan setelah dibekam (hijamah).

Kala itu, kami tawarkan hijamah kepadanya dan menolak. Prakiraan kami ada ungkapan yang bersifat syu'udzon terhadap masalah bekam (hijamah).

Alasannya tidak bersedia dibekam karena trauma. Sebab setelah dibekam (hijamah) badannya demam dan panas dingin selama tiga hari tanpa berhenti.

Lalu sang ustaz tersebut bertanya: “Antum dari kelompok mana? Belajar hijamah dari mana, bagaimana caranya dan apa jaminannya tidak demam?” begitu tanya sang ustaz dengan sinis dan mimik yang tidak menyenangkan.

Kami berusaha sabar dan tenang. Bahkan saat itu, tidak lama sang ustaz pun langsung tersebut mengeluarkan kitab Ath Thib Nabawi versi bahasa Arab asli dan disodorkan kepada kami.

Sang ustaz bertanya kepada kami untuk menjelaskan panjang lebar tentang hakikat dalil bekam (hijamah) dan pokok teknis.

Menurut pengakuan sang ustaz saat itu, dia bercerita selama dua tahun tidak pernah mau lagi bekam (hijamah) karena trauma. Dia sangat jengkel karena selama tiga hari tidak bisa aktivitas akibat demam itu.

Menurut pengakuan sang ustaz, kala itu dia dibekam (hijamah) dengan jarum (lanchet). Selama diskusi 30 menit, kami jelaskan panjang lebar kepada sang ustaz.

Kami juga sampaikan bahwa kami bukan dari kelompok mana-mana, kami hanya pecinta sunah Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam yang mulai ditinggalkan.

Kami juga meyakinkan kepada sang ustaz tersebut bahwa jika demam atau panas dingin lantas jangan terus menyalahkan hadis bekamnya (hijamah).

Akan tetapi cobalah salahkan (koreksi) praktisi bekamnya yang tidak mengerti dan memahami hakikat bekam (hijamah) sesuai syariat. Lalu kami menyampaikan ayat kepada sang ustaz;

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan dia (Muhammad) tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. Al Najm 3-4).

Alhamdulillah. Atas izin dan pertolongan Allah sang ustaz terbuka hatinya dan mencoba untuk bekam (hijamah). Setelah satu jam lebih dia tidak mengalami demam dan panas dingin.

Akhirnya seluruh keluarganya, keponakannya, adik-adiknya, iparnya, dan tetangganya diajak untuk bekam (hijamah) menggunakan pisau bedah.

Demikian juga dengan beberapa hamba-hamba Allah yang pernah dan sering melakukan bekam (hijamah) dengan jarum, setelah membaca dan memahami tulisan ini. Mereka beralih bekam (hijamah) dengan cara sayatan atau goresan pisau bedah.

Oleh sebab itu, tafsir surat Al Ahzab ayat 36 ditegaskan bahwa;

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”.

Semoga uraian ini menjadi petunjuk bagi kita semuanya. Yang benar datang dari Allah, Allah dan rasul-Nya terbebas dari kesalahan. Yang salah berasal dari diri kami yang lemah ini. Wallahu a’lam bishshawab.  

Jadi, masih inginkah Anda dibekam (hijamah) menggunakan jarum atau lanchet? Sesuatu yang salah risikonya juga berakibat tidak baik dengan kondisi tubuh Anda selanjutnya.

Tags: