Religi

Ramadan Ke-19: I’tikaf Tempatnya di Masjid, Bukan di Rumah

Ramadan Ke-19: I’tikaf Tempatnya di Masjid, Bukan di Rumah

Di antara ibadah yang disunahkan dan agung pahalanya pada bulan Ramadan 1444 Hijriah ini adalah i’tikaf.

Yakni berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan agar bisa berkonsentrasi melaksanakan seluruh ibadah wajib dan sunah.

I’tikaf itu hukumnya sunnah yang sangat dianjurkan. Seseorang disebut i’tikaf apabila memenuhi dua syarat, yaitu (1) berniat dan (2) berdiam di dalam masjid.

Tidak boleh keluar dari i’tikaf yang dinadzarkan kecuali jika ada kebutuhan atau uzur semisal haid, nifas, atau hal-hal yang tidak diperbolehkan.

Selain itu, i’tikaf akan batal dengan sendirinya jika suami istri berhubungan intim (bersenggama).

Maka, sebelum seseorang akan beri’tikaf haruslah memiliki ilmunya supaya hasil akhirnya sempurna. Masih banyak di antara kita sering bilang mau ke masjid untuk i’tikaf.

Tetapi begitu sampai di masjid malah tidak jadi i’tikaf karena bertemu dengan jemaah lain lalu bicara ngalor-ngidul tidak karuan.

Atau setibanya sampai di masjid justru malah selfi-selfi (swa foto) di masjid untuk pamer, teleponan, kirim pesan WhatsApp (WA), main game, sibuk urusan duniawi, dan selainnya. Tentu saja tindakan semacam ini sangat disayangkan.

Dalam bahasa, i’tikaf secara garis besar berarti tetap atau menetap pada suatu tempat. Sedangkan secara istilah syariat, i’tikaf itu berarti berdiam di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niatan khusus.

Dalil atau hukum i’tikaf adalah sunah muakkad dan dianjurkan dilakukan setiap waktu di dalam bulan Ramadan. Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan lebih diutamakan dari hari lainnya.

Sebab pada sepuluh malam terakhir Ramadan terdapat Lailatul Qadar. Selama i’tikaf, hendaklah disibukkan dengan salat, membaca Al Qur’an, memperbanyak doa-doa, bersedekah, dan mengerjakan amalan lainnya.

Mengapa? Sebab pada malam-malam tersebut merupakan malam yang utama dalam setahunnya. Allah berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Artinya:

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar 3).

Syarat i’tikaf sebagaimana disebutkan pada ahli tafsir ada dua:

1. Niat

Niat dalam hati sebagaimana dalam ibadah lainnya. Dituntut berniat apabila seseorang hendak mengerjakan i’tikafnya wajib, contohnya berniat i’tikaf nadzar. Niat ini supaya bisa membedakan dengan niatan nadzar sunah. Jika i’tikafnya mutlak maka tidak dibatasi waktu tertentu, maka cukup diniatkan dalam hati dan lisan

2. Berdiam

Hakikat berdiam di sini adalah i’tikaf mesti berdiam di mana waktunya lebih dari waktu yang dikatakan thuma’ninah (khusyuk) dalam ruku’ dan lainnya. Imam Syafi’i menganjurkan untuk melakukan i’tikaf sehari agar terlepas dari khilaf atau perselisihan para ulama

3. Berdiam di Masjid

Hal ini berdasarkan ayat dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Ada pun ayat yang dimaksud berdiam ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu Ta’ala:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah 187).

Berdiam di sini mengandung makna seseorang yang sedang i’tikaf dituntuk khusyuk dalam rangka ibadah kepada Allah. Menggantungkan seluruh harapan dan hatinya hanya kepada Allah.

Jangan diartikan kalau berdiam itu sama dengan tidur, karena tidur juga diam tidak melakukan aktifitas apa pun.

Seseorang diminta diam di masjid maksudnya agar tidak keluyuran ke mana-mana. Dia hanya fokus beribadah kepada Allah semata.

Oleh sebab itu, supaya tercapai i’tikafnya dengan sempurna, memohonlah kepada Allah agar dimudahkan beribadah dan menyelesaikan i’tikafnya sampai malam takbiran (Idul Fitri).

Ada pun masjid yang ditempati untuk i’tikaf adalah masjid jami’, yakni masjid yang ditegakkan salat Jumat di dalamnya.

Ini lebih utama daripada masjid lainnya supaya yang melaksanakan i’tikaf tidak keluar untuk melaksanakan salat Jumat ke masjid lainnya. Lebih afdhol (utama) lagi jika i’tikaf di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau Masjid Al Aqsha.

4. Syarat yang berkaitan dengan orang yang beri’tikaf harus Islam, baligh, berakal, suci dari hadas kecil dan besar, dan tidak keluar dari masjid selama i’tikaf berlangsung

Tidak boleh keluar dari masjid selama i’tikaf adalah i’tikaf nadzar atau i’tikaf yang sudah diniatkan selama waktu tertentu.

Artinya hanya boleh keluar dari masjid jika ada kebutuhan mendesak, seperti kencing, buang hajat, atau keperluan lainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

Wanita Boleh Beri’tikaf

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Artinya:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadan. Apabila selesai dari salat subuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya” (HR. Bukhari No. 2026 dan HR. Muslim No. 1172)

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Artinya:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadan hingga wafatnya kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau” (HR. Bukhari No. 2026 dan HR. Muslim No. 1172).

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi dua syarat. Pertama meminta izin suami dan kedua tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki).

Wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.

Lama Waktu I’tikaf

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Bagi ulama yang menyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari.

Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari.

Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari.

Sedangkan bagi ulama yang tidak menyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama dia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.

Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walau pun hanya sesaat.

Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak. Selain itu, jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan surat Al Baqarah ayat 187.

Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim).

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

  • Mandi dan berwudhu di masjid
  • Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf atau sebaliknya
  • Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan/minum, atau hajat lain yang tidak bisa dikerjakan di masjid
  • Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain
  • Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah salat subuh pada hari ke-21 dan keluar setelah salat subuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan untuk salat Idul Fitri

Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Artinya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadan. Apabila selesai dari salat subuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meminta izin untuk bisa beri‘tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya” (HR. Bukhari No. 2041).

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadan.

Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam. Wallahu a’lam bish shawwab.

Tags: