Religi

Ramadan Ke-1: Puasa dalam Perspektif Islam

Ramadan Ke-1: Puasa dalam Perspektif Islam

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena pada kesempatan yang kesekian kalinya kita dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan 1444 Hijriah.

Marilah kita sambut bulan suci Ramadan ini dengan ucapan “Marhaban Ya Ramadan, Ramadan Mubarak, Ramadan Kareem”

Sambutan ini menunjukkan bahwa tamu agung disambut dengan lapang dada, penuh kegembiraan, dan dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.

Artinya tidak menggerutu dan menganggap kehadiarannya tidak mengganggu ketenangan atau suasana nyaman kita.

Untuk itu kita perlu mempersiapkan bekal dan tekad yang membaja guna menelusuri jalan dan memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadan dengan salat dan tadarus Al Qur’an.

Kata shiyam dalam arti puasa menurut hukum syariat secara bahasa, berakar dari huruf-huruf sha-wa-ma berarti “menahan” dan “berhenti” atau “tidak bergerak”.

Manusia yang berupaya menahan diri dari suatu aktifitas–apapun aktifitas itu– dinamai shaim (berpuasa).

Pengertian kebahasaan ini dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga puasa (shiyam) hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Namun Al Qur’an menginformasikan bahwa kata shiyam tidak hanya membatasi pada menahan makan, minum, dan berhubungan suami istri, tetapi juga digunakan dalam arti menahan bicara (QS. Maryam 26).

Merujuk kepada hakikat dan tujuan puasa, kegiatan yang harus dibatasi selama berpuasa mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, hati, dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Hakikat shiyam atau shaum bagi manusia adalah menahan atau mengendalikan diri. Oleh karena itu puasa disamakan dengan sikap sabar.

Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa al shaumu liy wa ana ajziy yang artinya puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberi ganjarannya (HR. Bukhari).

Firman Allah dalam surat Az Zumar 10:

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.

Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat atau hukum sebagaimana dijelaskan di atas, yakni;

a. Puasa kafarrat akibat pelanggaran atau semacamnya
b. Puasa wajib satu bulan Ramadan
c. Puasa sunat

Uraian Al Qur’an tentang puasa Ramadan ditentukan dalam surat Al Baqarah ayat 183-185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadan baru diwajibkan setelah Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam hijrah ke Madinah. Yakni pada tanggal 10 Syaban tahun ke-2 hijriah.

Dalilnya sesuai surat Al Baqarah ayat;

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

185. Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa

Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan beberapa poin, antara lain kewajiban puasa di bulan Ramadan yang diawali dengan panggilan mesra:

“Wahai orang-orang yang beriman…” yang dimaksudkan agar dapat mendorong umat Islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa adanya kesalahan.

Bahkan, tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri, yakni agar seseorang menjadi bertakwa atau terhindar dari siksa api neraka.

Kewajiban puasa tersebut hanya beberapa hari, ini hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya dan dalam keadaan sehat wal ’afiat.

Sehingga barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan maka dia boleh tidak berpuasa dan menggantinya pada hari yang lain.

Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka dia harus membayar fidyah (tebusan), yaitu memberi makan kepada orang-orang miskin.

Sekalipun puasa adalah kewajiban bagi umat Islam, tetapi Allah menghendaki kemudahan untuk kamu bukan kesulitan.

Pelaksanaan puasa dalam arti menahan makan, minum dan hubungan suami istri dimulai sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Oleh karena itu makan, minum dan berhubungan suami istri dapat dilakukan sejak terbenam matahari sampai terbit fajar.

Namun puasa harus disempurnakan dan jangan dinodai dengan perbuatan melanggar norma agama, intinya menyempurnakan puasa itu sampai malam.

Secara jelas Al Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai ketakwaan. Menahan diri dari lapar bukanlah tujuan utama puasa.

Hal ini disyaratkan di dalam hadis, yang artinya banyak di antara orang yang berpuasa namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga saja.

Takwa, secara bahasa berarti menghindar, menjauhi, menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah, secara harfiah berarti hindarilah, jauhilah atau jagalah dirimu dari Allah.

Makna ini mustahil dapat dilakukan oleh makhluk. Bagaimana mungkin menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya?

Sedangkan Allah bersama kamu di mana pun kamu berada. Oleh karena itu perlu disiapkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya.

Misalnya, kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.

Dengan demikian, puasa dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai ataupun bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat, yakni pengendalian diri.

Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal meneladani sifat-sifat Allah.

Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda: “Takhallaqu bi akhlaq Allah” yang artinya teladanilah sifat-sifat Allah.

Manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam dan yang terpenting adalah kebutuhan fa’ali, yaitu makan, minum, dan hubungan suami istri.

Meski demikian, ketiga kebutuhan itu tidak diperlukan oleh Allah. Di samping itu puasa bertujuan mempertinggi rasa persaudaraan dan kepedulian sosial.

Ibadah puasa mengasah dan mengasuh manusia agar memiliki sifat sabar dan jujur. Semoga Ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadan ini dapat melahirkan nilai-nilai ketakwaan, persaudaraan, kesabaran, dan kejujuran. Wallahu A’lam Bish Shawab.

Tags: