Keluarga sakinah terdiri dari dua kata: keluarga dan sakinah. Keluarga yang normal terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
Sakinah terambil dari kata ‘sakana’ yang berarti diam atau tetapnya suatu setelah bergejolak. Pernikahan dinamakan sakinah karena ketenangan yang dinamis dan aktif.
Tujuan pernikahan dalam Islam, selain menjalankan syariat dan sunah rasul adalah untuk mencapai sakinah, yakni ketenangan lahir dan batin, kedamaian jiwa, ketentraman, dan kesejahteraan.
Dalam bahasa nabi tergambarkan sebagai ‘baiti jannati’ atau rumah tanggaku adalah surgaku. Namun jalan menuju kondisi ideal itu tidak selamanya mulus lakasana berlayar di lautan lepas.
Tidak hanya riak gelombang, tetapi sering menemui badai mengguncang, ombak menghempas, topan menerpa, dan akhirnya duka melanda.
Lukman Al Hakim pernah berpesan bahwa kehidupan dunia ini laksana lautan luas dan dalam. Di mana manusia akan berlayar di atasnya. Karena itu jadikanlah takwa sebagai perahumu.
Allah berfirman;
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَ
“Berbekallah kamu, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa” (QS. Al Baqarah 197).
Oleh karena itu, untuk menuju keluarga sakinah, maka dibutuhkan pasangan suami istri yang takwa. Indikator-indikator takwa bagi suami dan istri adalah suami yang taat dan memandang istri serta memperlakukannya sebagai amanah dari Allah.
Tidak menganggapnya sebagai barang komoditi dan memperlakukannya dengan seenaknya. Dalam khutbah wada, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ شَبِيبِ بْنِ غَرْقَدَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَمَعْنَى قَوْلِهِ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ يَعْنِي أَسْرَى فِي أَيْدِيكُمْ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami (Al Hasan bin Ali Al Khallal), telah menceritakan kepada (Al Husain bin Ali Al Ju’fi) dari (Za`idah) dari (Syabib bin Gharqadah) dari (Sulaiman bin Amr bin Al Ahwash) berkata; telah menceritakan kepadaku (Bapakku) bahwa dia melaksanakan haji wada’ bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bertahmid dan memuji Allah, beliau memberi pengingatan dan nasihat. Beliau menuturkan cerita dalam hadisnya, lantas bersabda: “Ketahuilah, berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukan seseorang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam memberikan pakaian dan makanan kepada mereka. Abu Isa berkata ini merupakan hadis hasan shahih. Arti dari ‘awaanun’ yaitu mereka adalah tawanan kalian” (HR. At Tirmidzi No. 1083).
Sedangkan indikator istri takwa adalah istri yang selalu tunduk dan patuh pada suami selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama. Suami adalah qawwamun pada istri, yakni pemimpin, pengayom, penyangga, dan tempat bersandar.
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda;
قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Artinya:
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Janganlah kalian melakukannya, kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh seorang istri itu tidak dikatakan menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk dilayani, sementara ia sedang berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya” (HR. Ibnu Majah No. 1843).
Keluarga Sakinah
Dalam pandangan agama Islam, hidup berumah tangga merupakan fitrah manusia. Oleh karena itu hidup berumah tangga dinilai sebagai ibadah. Di dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa separuh urusan agama sudah tercakup dalam kehidupan rumah tangga, separuh selebihnya ada dalam bidang-bidang di luar rumah tangga.
Dalam rumah tangga, suami istri akan terpenuhi kebutuhan biologisnya secara terhormat dan dapat membangun mahligai atau istana di dalam jiwanya. Namun, dalam rumah tangga selain ditemukan keindahan, juga dijumpai penderitaan, kelaparan, perjuangan, kesetiaan, impian, dan kesinambungan generasi.
Sehingga akan dalam hidup rumah tangga akan terbangun dan teruji bakat-bakat keibuan, kebapakan, solidaritas, kepemimpinan, kelembutan, ketegasan, dan sebagainya. Untuk membangun dan membina rumah tangga yang sakinah, maka bangunan itu harus direkat oleh tali-temali rohani pernikahan, yaitu cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah.
Sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalaupun ini tidak tersisa, masih ada amanah Allah. Selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara karena Al Qur‘an memerintahkan;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu memusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An Nisaa’ 19).
Cinta berarti menyerahkan seluruh diri kepada yang dicintai, memeluk kepatuhan padanya, sehingga merasa tidak mau kehilangan. Mawaddah berarti kelapangan dan kekosongan yakni kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.
Mawaddah adalah cinta plus, seseorang yang mencintai sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar. Bahkan jika putus tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah tidak lagi akan memutuskan hubungan.
Seperti yang biasa terjadi pada orang yang bercinta, ini disebabkan oleh hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan. Sehingga pintu-pintunya tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin yang mungkin bisa datang dari pasangannya.
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Oleh karena itu, dalam kehidupan berumah tangga, suami dan istri akan bersungguh-sungguh mendatangi kebaikan bagi pasangannya dan menolak segala yang mengeruhkannya.
Setiap manusia memiliki kelemahan dan kekuatan. Karena itu suami dan istri harus saling melengkapi. Istri-istri kamu pada suami adalah pakaian kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka. Allah berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa” (QS Al Baqarah 187).
Suami istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian yang harus berfungsi membungkus atau menutup kekurangan pasangannya. Pernikahan merupakan amanah.
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Kalian menerima istri berdasarkan amanah Allah. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan terpelihara dengan baik, serta keberadaannya amat diperlukan suami, suamipun amanah di pangkuan istri. Pernikahan merupakan mitsaqan galidza (perjanjian yang amat kokoh).
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظً
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (QS. An Nisaa’ 21).
Aspek Keluarga Sakinah
Untuk membina keluarga sakinah sebagai tujuan pernikahan seperti diisyaratkan dalam Ar Rum ayat 21, maka harus terpenuhi aspek-aspek sebagai berikut ini;
a. Hubungan keluarga yang demokratis
b. Pembagian tanggung jawab secara adil
c. Adanya pengambilan keputusan yang transparan dan adil
d. Bebas dari subordinasi, bebas eksploitasi, atau bebas dari kekerasan fisik
e. Bebas tekanan psikologis, terjaminnya kesejahteraan fisik, psikologi, spiritual dan terjaminnya aktualisasi diri sebagai anggota keluarga
Sementara untuk memenuhi aspek-aspek di atas, maka suami dan istri harus mengetahui dan memahami kewajiban dan hak masing-masing, yakni:
Kewajiban suami istri: saling menghargai, menghormati, dan memercayai dan berlaku jujur satu dengan yang lain; saling setia dan memegang teguh tujuan pernikahan; berlaku sopan santung dan menghormati keluarga masing-masing; menjaga kehormatan dirinya dan berlaku jujur terhadap diri sendiri dan pasangannya, dan setiap persengketaan harus dihadapi dengan makruf dan harus menerima penyelesaian.
Hak suami istri: halal bergaul dan masing-masing dapat bersenang-senang satu dengan yang lain; terjadinya hubungan mahram sedarah (semenda), yaitu istri menjadi mahram ayah suami dan seterusnya ke atas, dan suami menjadi mahram ibu istri dan seterusnya ke atas; terjadinya hubungan waris-mewarisi antara suami dan istri.
Istri berhak mewarisi atas peninggalan suami dan suami mewarisi peninggalan istri; dan anak yang lahir menjadi anak berdua.
Allah mengajarkan doa untuk suami istri;
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya:
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqan 74).
Di samping itu, aspek-aspek tersebut hanya dapat dicapai apabila ada keseimbangan atau kufu dalam agama dan akhlak serta ditunjang dengan keseimbangan pendidikan, keturunan, kekayaan, dan sebagainya.
Sehingga antara suami dan istri serta anggota keluarga yang lain ada sikap saling menghormati, menghargai, dan melimpahkan kasih sayang. Agama dan akhlak al karimah menjadi syarat utama pasangan pembina keluarga sakinah karena syarat inilah yang betul-betul akan menjadi sumber ketenangan keluarga.
Pasangan suami istri yang taat beragama dan memiliki akhlak karimah akan dapat menghayati aspek-aspek yang diperlukan dalam membina keluarga sakinah. Sehingga dapat mendudukkan dirinya sebagai hamba Allah yang baik dalam kehidupan modern sekarang ini.
Di dalam keluarga sakinah, setiap anggotanya berhak mendapatkan suasana tenteram, damai, aman, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Di samping itu suasana keluarga sakinah memberikan kemungkinan kepada setiap anggotanya untuk dapat mengembangkan kemampuan dasar potensi sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
Potensi-potensi itu akan menjelma menjadi kesadaran langsung terhadap tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Sehingga memberikan memberikan rahmatan lil ‘alamin bagi lingkungan di sekitarnya. Wallahu A’lam Bish Shawab.